Penjajahan Perang Melawan Kolonial Hindia Belanda

Disini kita akan membuat artikel sejarah tentang “Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda” Indonesia telah dijajah oleh beberapa negara asing, seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris, dan Jepang. Pada masa itu, rakyat hidup dalam penderitaan. Setiap hari bekerja dengan upah yang tidak sepadan. Oleh sebab itu, rakyat pada masing-masing daerah melakukan berbagai perlawanan terhadap para penjajah (bersifat kedaerahan).

Perang Melawan Penjajahan Kolonial Hindia Belanda

Berikut ini terdapat beberapa perang melawan penjajahan kolonial hindia belanda, yaitu sebagai berikut:

Perang Tondano

Orang Tondano Melawan Kompeni - Historia

Perang Tando yang terjadi pada 1808-1809 adalah perang yang melibatkan orang Minahasa di Sulawesi Utara dan pemerintah kolonial Belanda pada permulaan abad XIX. Perang pada permulaan abad XIX ini terjadi akibat dari implementasi politik pemerintah kolonial Hindia Belanda oleh para pejabatnya di Minahasa, terutama upaya mobilisasi pemuda untuk dilatih menjadi tentara.

Perang Tandano I

Sekalipun hanya berlangsung sekitar satu tahun Perang Tonando dikenal dalam dua tahap. Perang Tonando I terjadi pada masa kekuasaan VOC. Orang-orang Spanyol sudah sampai di tanah minahasa Sulawesi utara. Orang-orang spanyol di samping berdngan juga menyebarjan Agama Kristen. Tokoh yang berjasa dalam penyebaran agama kristen di tanah Minahasa adalah Fransiscus Xaverius. Hubungan orang Minahasa dan Spanyol terus berkembang. Tetapi mulai abad XVII hubungan antara keduanya mulai terganggu dengan kehadiran perang VOC.

VOC berusaha memaksa kehendak agar orang-orang minahasa menjual berasnya kepada VOC. Oleh karena VOC sangat membutuhkan beras untuk melakukan monopoli perdagangan beras di sulawesi utara. Orang-orang Minahasa menentang saha monopoli tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi VOC kecuali memerangi orang-orang minahasa. Untuk melemahkan orang-orang Minahasa, VOC membendung Sungai temberan. Akibatnya aliran sungai meluap dan menggenangi tempat tinggal rakyat dan para pejuang Minahasa.

Perang Tondano II

Perang Tondano II sudah terjadi ketika memasuki abad ke-19, yakni pada masa pemerintahan Kolonial Belada. Perang ini dilatarbelakangi oleh oleh kebijakan gubernur Jenderal Daendels. Daendels yang mendapat mandat untuk emerangi Ingris memerlukan psukan dalam jumlah besar. Untuk menambah jumlah pasukan maka direktur pasukan dari kalangan pribumi. Mereka yang dipilih adalah dari suku-suku yang memiliki keberanian berperang. Suku yang dipilih yaitu oarang Madura, Dayak, dan Minhasa.

Dalam suasana yang kertis itu tidak ada pilihan lain bagi Gubernur Prediger kecuali mengirim pasukan untuk menyerang pertahanan orang-orng minahasa di Tonando, Minawanua. Belanda kembali menerapkan strategi dengan membendung sungai Temberan. Prediger juga membentuk dua pasukan tangguh.

Perang Tondano II berlangsung cukup lama, bahkan sampai Agustus 1809. Dalam suasana kepenatan dan kekurangan mkanan mnusia dan kelompok pejuang yang yang memihak kepada Beanda. Namun dengan kekuatan yang ada para pejuang Tondano terus memberikan perlawanan. Akhirnya pada tanggal 4-5 Agustus 1809 Benteng perthanan Moraya milik para pjuang hancur bersama rakyat yang berusaha mempertahankan. Para pejuang itu memilih mati dari pada menyerah.

Pattimura Angkat Senjata

Biografi Pattimura: Kisah Kapitan Pattimura dan Maluku

BACA JUGA: Rumah Adat Aceh: Sejarah, Ciri Khas, 8 Bagian

Maluku dengan rempah-rempahnya memang bagaikan “mutiata dari timur”, yang senantiasa dihibur oleh orang-orang Barat. Namun kekuasaan orang-orang barat telah merusak tata ekonomi dan pola pergangan bebas yang telah lama berkembang di nusantara. Pada masa pemerintah Ingris di bawah Reffles keadaan Maluku relatif lebih tenang karena Ingris bersedia membayar hasil bumu rakyat maluku.

Menanggapi konisi yang demikian para tokoh dan pemuda Maluku melakukan serangkaian pertemuan rahasia. Sebagai contoh telah diadakan pertemuan rahasia di pulau Huruku, pulau yang di huni orang-orang Islam. Selanjutnya pada tanggal 14 Mei 1817di Pulau Saparua (Pulu yang dihuni orang-orang Kristen) Kmbali diadakan pertemuan di sebuah tempat yanng sering disebut dengan Hutan Kyuptih.

Gerakan perlawanan dimulai dengan menghancurkan kapal-kapal Belanda di pelabuhan. Para pejuang Maluku kemudian menuju Benteng Duurstede. Ternyata sudah berkumpul pasukan Belanda. Dengan demikian tejadi pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan Balanda. Belanda waktu itu di pinpin oleh Residenvan dan Berg. Sementar dari pihak para pejuang selain patimura juga tamppil tokoh-tokoh seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Belanda kemudian mendatangkaan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 rpajurit yang dipinpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini kawal oleh dua kapal perang yakni kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan patimura, bahkan mayor Beetjes terbunuh. Kembali kemenangan ini semakin menggelora perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti saram, Hitu, Haruku dan Lerike.

Upaya perlindungan mulai ditawarkan, tetaoi tidak ada kesempatan.. Akhirnya belanda mengerahkan semua kekuatannya termasuk bantuan dari Betavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Agustus 1817 Saparua diblokade, Bentang Duurstede dikepung disertai tembakan merim yang bertubu-tubi. Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat di patahkan.

Belanda belum uas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan Belnda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden. Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Tepat pada tanggal 16 Desember 1017 Patimura dihukum gantung di alun-alun kota Ambon. Cristin Martha Tihahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya jug tertangkap.

Perang Padri

Perang Padri: Sejarah hingga Kronologi Pertempuran

Perang Padri terjadi di tanah Minangkabau, Sumatra Barat pada tahun 1821- 1837. Perang Padri sebenarnya merupakan perlawanan kaum Padri terhadap dominasi pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra Barat adanya pertentangan antara kaum Padri dengan kaum adat telah menjadi pintu masuk bagi campur tanggan Belanda.

Sejak akhir abad ke-18 telah datang seseorang ulama dari kampung Kota Tua didaratan agam. Tuanku Kota Tua menyatakan bahwa masyarakat minang kabau sudah begitu jauh menyimpang dari ajaran islam sesuai dengan Al Quran dan Sunah Nabi. Kemudian pada tahun 1803 datang lah tiga orang ulama yang baru saja pulang haji dari tanah suci mekah, yakni: Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang.

Mereka melanjutkan gerakan pembaruan atau pemurnian pelaksanan ajaran Islam seperti yang pernah dilakukan oleh Tuanku Kota Tua. Orang Belanda menyebutnya dengan Padri yang dapat dikaitkan dengan kata padre dari bahasa Portugis untuk menujukan orang-orang Islam yang berpakian putih sementara kaum adat di Sumatra Barat memakai pakian hitam

Tahun 1821pemerintah India Belanda menggakat James Du Puy sebagai Presiden di Minangkabau. Pad a tanggal 10 februari 1821, Du Puy mengadakan perjajian persahbatan dengan tokoh adat, Tuanku Suruaso dan 14 Penghulu minang kabau. Tindakan Belanda ini ditentang keras oleh kaum Padri, maka tahun 1821 itu meletuslah perang Padri.

Perang Padri di Sumatra Barat ini dapat dibagi dalam tiga fase yaitu:

Fase Pertama (1821-1825)

Pada fase pertama,dimulai gerakan kaaum Padri meyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli-patroli Belanda. Kemudian Pasaman menggerakan sekitar 20.000 sampai 25.000 pasukan sekitar hutan disebelah timur gunung. Sedangkan Belanda dengan kekuatan 200 orang serdadu Eropa ditambah sekitar 10.000 pasukan orang pribumi. Tuanku Pasama dengan sisa pasukanya kemudian mengundurkan diri ke Lintau.Sementara pasukan Belanda telah berasil mengyasai seluruh lembah tanah datar, mendirikan benteng bi Batusangkar terkenal dengan sebutan Front Van der Capellen.

Periode tahun 1821-1825, serangan-serangan kaum Padri memang meluas di seluruh tanah Minangkabau. Bulan September 1822 kaum Padri berasil mengusir Belanda dari sungai paur, Guguk Sigandang dan Tajong Alam. Peto Syarif adalah sejarah Perang Padri dikenal sebagai Tuanku Iman Bonjol. ia sangat gigih memimpin kaum Padri untuk melawan kekejaman dan keserakahan Belanda di tanah Minangkabau.

Pada tanggal 26 Januari 1824 perdamaian antara Belanda dengan kaum Padri di wilayah Alahan Panjang. Perundingan ini dikenal dengan Perjajinan Masang. Tindakan Belanda itu telah menimbulkan amarah kaum Padri Alahan Panjang dan menyatakan pembatalan kesepakatan dalam perjajian Masang.Dengan demikian perlawanan kaum Padri masih terus berlangsung di berbagai tempat.

Fase Kedua (1825-1830)

Perlawanan kaum Padri di Sumatra Barat bagi Belanda tahun ini sedikit mengendorkan ofensifnya dalam perang Padri. Oleh kerana itu, Kolonel De Stuersmerupakan penguasa sipil dan meliter di Sumatra Barat tokoh-tokoh kaum Padri untuk menghentikan perang dengan megadakan perjajin perdamaian. Pada tanggal 15 November 1825 ditandatangani Perjajian Padang. Isi perjajian padang antara lain yaitu:

Belanda mengakui kekuasan pemimpin Padri di Batusangkar, Saruaso, Padang Guguk Sikadang, Agam , Bukittinggi dan menjamin pelaksanan system agama didaerahnya
Kedua belah pihak tidak akan saling menyerang
Kedua pihak akan melindungi para pedagang dan oaring-orang yang sedang melakukan perjalanan
Secara bertahan Belanda akan melarang praktik adu ayam.
Fase Ketiga (1830-1837/1838)
Peristiwa tahun 1825-1830 di Jawa, peristiwa perang Diponogoro berakhir pada tahun 1830,semua kekuatan Belanda dikonsentarasikan ke Sumatra Barat untuk menghadapi perlawanan kaum Padri. Dimulailah Perang Padri fase ketiga.

Pada pertemuan fase ketiga kaum Padri, orang-orang Padri yang mendapatkan dukungan kaum adat itu bergerak ke pos-pos tentara Belanda.tindakan kaum Padri dijadikan Belanda di bawah Gillavry untuk menyerang Koto Tuo di Ampek Angkek.

Tahun 1831 Gillavry digantikan oleh Jacob Elout ini telah mendapatkan pesan dari Gubernur Jenderal Van den Bosch agar melaksanakan seranggan besar-besaran terhadap kaum Padri. Pada Agustus1831 Belanda dapat menguasai Banteng Marapalam, dengan jatuhnya benteng ini maka beberapa nagari di sekitarnya ikut meyerah.

Pada tahun 1832 maka Belanda semakin meningkat kekuatan kaum Padri di berbagai daerah. Pasukan legium Sentot Ali Basah Prawirodirjo dengan 300 prajurit bersenjata. Tahun 1833 kekuatan Belanda sudah begitu besar dengan melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan kaum Padri.

Pada waktu penyerbuan Kamang, pasukan Belanda termasuk perwirah terbunuh. Dan Belanda dapat menguasai Kamang, dalam serangkaian pertempuran itu banyak kaum Padri telah menjadi korban, termasuk tokoh Tuanku Nan Cerdik dapat di tangkap.

Disamping strategi militer, setelah Van den Bosch berkunjung ke Sumatra Barat,pajak pasar dan berbagai jenisa pajak dihapuskan. Penghulu yang kehilangan pengasilan di beri gaji 25-30 golden. Para kuli yang bekerja untuk pemerintahan Belanda juga di beri gaji 50 sen sehari.

Elout digantikan oleh E.Francis yang tidak akan mencampuri urusan pemerintahan tradisional di Minangkabau. Plakat panjan adalah pernyatan atau janji khidmat yang isinya tidak aka nada peperangan antara Belanda dan kaum Padri. Kemudian Belanda mulai menawarkan perdamaian kepada para pemimpin Padri.

Dengan kebijakan tokoh Padri dikontak oleh Belanda dalam rangka mencapai perdamaian. Kekuatan pasukan Tuanku Nan Cerdik dapat dihancurakan. Tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatanya untuk menyerang pasukan Iman Bonjol di Bonjol. Tanggal 16 Juni 1835 benteng Bonjol di hujani meriam oleh serdau Belanda. Agustus 1835 benteng di perbukitan dekat Bonjol jatuh ketangan Belanda. Belanda juga mencoba mengontak Tuanku Iman Bonjol untuk berdamai.

Iman Bonjol mau berdamai tapi dengan beberapa persyaratan antara lain Iman Bonjol mintak agar Bonjol dibebeskan dari bentuk kerja paksa dan negri itu tidak di duduki Belanda. Tetapi Belanda tidak memberi jawaban , justru Belanda semakin ketat mengepung pertahanan di Bonjol. Pada tanggal 25 Oktober 1837 Tuanku Iman Bonjol ditangkap.

Pasukan yang dapat meloloskan diri melanjutkan perang gerilnya di hutan-hutan Sumatera Barat. Iman Bonjol sendiri kemudian dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Tanggal 19 Januari 1839 ia dibuang ke Ambon dan tahun 1841 dipindahkan ke Manado sampai meninggalnya pada tanggal 6 November 1864.

Perang Diponegoro

Perang Diponegoro (1825-1830) - Tribunnewswiki.com Mobile

Memasuki abad ke-19, keadaan di jawa khususnya di Surakarta dan Yogyakarta semakim memprihatinkan. Dominasi pemrintahan colonial juga telah menempatkan raakyat sebagai objek pemerasan, sehingga makin menderita. Perubahan pada masa Van der Capellen juga menimbulkan kekecewaan.

Beban penderitaan rakyat itu semakin erat, karena diwajibkan membayar berbagai macam pajak, seperti:

welah-welit (pajak tanah)
pengawang-awang (pajak halaman kekurangan)
pecumpling (pajak jumlah pintu)
pajigar (pajak ternaak)
penyongket (pajak pindah nama)
bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan)
Dalam suasana penderitaan rakyat dan kekacauan itu tampil seorang bangsawan, putera Sultan Hamengkubuwana III yang bernama Raden Mas Ontowiryo atau lebih terkenal dengan nama pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, pangeran Diponegoro berusaha menentang dominasi Belanda yang kejam dan tidak mengenal prikemanusiaan. Tanggal 20 Juli 1825 meletuslah Perang Diponegoro.

Bermula Dari Insiden Anjir Sejak tahun 1823, Semissaert di angkat sebagai residen di Yogyakarta. Oleh karena itu, Smissaert bekerja sama dengan Patih Denurejo berusaha menyingkirkan Pangeran Diponegoro dari istana Yogyakarta. Pada suatu hari di tahun 1825 Smissaert dan Patih Danurejo dalam rangka membuat jalan baru memerintahkan anak buahnya untuk memasang anjir (pancang/patok).

Pangeran Diponegoro memerintahkan rakyat untuk mencabuti anjir tersebut. Kemudian Patih Danurejo memerintahkan memasang kembali anjir-anjir itu dengan dijaga pasukan Macanan (Pasukan pengawal kepatihan).

Kala itu tanggal 20 Juli 1825 sore hari, rakyat Tegalreja berduyun-duyun berkumpul di dalem Tegalreja dengan membawa berbagai senjata seperti pedang,tombak,lembing dan lain-lain.

Pangeran Diponegoro adalah pemimpin yang tidak individualitas. Tercatat 15 dari 29 pangeran dan 41 dari 88 bupati bergabung dengan pangeran Diponegoro.

Mengatur srategi dari Selarong
Dari Selarong, Pangeran Diponegoro menyusun strategi perang. Kumudian Pangeran Diponegoro menyusun langkah-langkah. (1) Merencanakan serangan kekeraton Yogyakarta dengan mengisolasi pasukan Belanda dan mecegah masuknya bantuan dari luar. (2) Mengirim kurir kepada para bupati atau ulama agar mempersiapkan peperangan melawan Belanda.

(3) Menyusun daftar nama bangsawan, siapa yang sekiranya kawan dan siapa lawan. (4) Membagi kawasan Kesultanan Yogyakarta menjadi bebrapa mandala perang, dan mengangkat para pemimpinnya. Pangeran Diponegoro telah membagi menjadi 16 mandala perang, misallnya: Yogyakarta dan sekitarnya dibawah komando Pangeran Adinegoro (adik Diponegro) diangkat sebagai patih dengan gelar Suryenglogo.

Sebagai pucuk pimpinan Pangeran Diponegoro didampingi oleh pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Nyi Ageng Serang yng sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M Papak bergabung bersama pasukan Pangeran Diponegoro. Nyi Ageng Serang (nama aslinya R.A Kustiah Retno Edi), sejak sejak remaja sudah anti terhadap Belanda dan pernah membantu ayahnya (Penembahan serang) untuk melawan Belanda.

Benteng Stelsel pembawa petaka

Perlawanan pasukan Pangeran Diponegoro senantiasa bergerak dari pos pertahanan yang satu k epos yang lainnya. Untuk menghadapi pasukan Diponegoro yang bergerak dari pos satu k epos yang lainnya, Jenderal de kock kemudian menerapkan strategi dengan system “Benteng Stelsel”atau”Stelsel Benteng”. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil di pukul mundur oleh pasukan Belanda, misalnya di Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Magelang.

Dengan system “Benteng Stelsel” ruang gerak pasukan Diponegoro dari waktu ke waktu semakin sempit. Namaun perlawanan di Rembang dapat dipatahkan oleh Belanda pada bulan Maret 1828. Pertahanan hati Sentot Prawirodirjo pun luluh, dan menerima ajakan untuk berunding pada tanggal 17 Oktober 1829 ditandatangani perjanjian Imigiri antara Sentot Prawirodirjo dengan pihak Belanda. Isi pejanjian itu antara lain:

Sentot Prawidirjo diizinkan untuk tetap memeluk agama Islam,
Pasukan Sentot Prawiridirjo tidak di bubarkan dan tetap sebagai komandannya,
Sentot Prawidirjo dengan pasukannya diizinkan untuk tetap memakai sorban,
Sebagai kelanjutan perjanjian itu, maka pada tanggal 24 Oktober 1829 Sentot Prawidirjo dengan pasukannya memasuki ibu kota negeri Yogyakarta untuk secara resmi menyerahkan diri.
Belum ada tanda-tanda perlawanan Diponegoro mau berakhir. Belanda kemudian mengumumkan kepada khalayak pemberian hadiah sejumlah 20.000 ringgit bagi siapa saja yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro baik dalam keadaan hiup maupun mati.

Perlawanan Di Bali

Perang Bali: Sejarah, Latar Belakang, Tokoh & Monumen

Abad ke 19 Bali belum banyak menarik perhatian orang-orang Barat untuk menanamkan pengaruhnya. Baru sekitar tahun 1830-an Hindia Belanda aktif menanmkan pengaruhnya di Bali perkembangan dominasi Belanda inilah yang kemudian menyulut api perlawanan rakyat Bali kepada Belanda yang terkena dengan sebutan “Perang Puputan”.

Mengapa terjadi perang Puputan di Bali?
Pada abad ke-19 di Bali sudah berkembang kerajaan-kerajaan yang berdaulat. Misalnya kerajaan Buleleng, Krangasem, Klungkung, Gianyar, Badung, Jembrana, Tabanan, Menguri dan Bangli. Pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels mulai terjadi kontak dengan kerajaan-kerajaan di Bali, tidak sekedar urusan dagang tetapi menyangkut sewa menyewa orang-orang bali untuk dijadikan tentara pemerintah Hindia Belanda.

Tetapi dalam perkembangannya pemerintah Hindia Belanda ingin menanamkan pengaruh dan berkuasa di Bali. Akhirnya dicapai perjanjian atau kontrak politik antara raja-raja di Bali dengan Belanda. Karena kelihaian atau bujukan Belanda, raja-raja di Bali dapat menerima perjanjian untuk meratifikasi penghapusan hukum Tawan Karang. Tetapi sampai tahun 1844 Raja Buleleng dan Karangasem belum melaksanakan perjanjian tersebut.

Terbukti pada tahun 1844 itu penduduk melakukan perampasan atas isi dua kapal Belanda yang terdampar di pantai Sangsit (Buleleng) dan Jembrana (waktu itu juga daerahnya Buleleng). Belanda memaksa Raja Buleleng, Gusti Ngurah Made Karangasaem agar melaksanakan isi perjanjian yang telah di sepakati. Raja Gusti Ngurah Made karangasem yang mendapat dukungan patihnya, I Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas menolak tuntutan Belanda tersebut.

Bahkan I Gusti Ktut Jelantik sudah melakukan latihan dan menghimpun kekuatan untuk melawan kesewenang-wenangan Belanda. Patih Ketut Jelantik terus mempersiapkan prajurit Buleleng dan memperkuat pos-pos pertahanan. Sementara, pada tanggal 27 juni 1846 telah datang pasukan Belanda brkekuatan 1700 orang pasukan darat yang langsung menyerbu kampung-kampung di tepi pantai. Benteng pertahanan Buleleng jebol dan ibu kota singaraja di kuasai Belanda. Perjanjian di tandatangani pada tanggal 6 juli 1846 yang isinya antara lain :

  • Dalam waktu tiga bulan, Raja Buleleng harus menghancurkan semua benteng Buleleng yang pernah di gunakan dan tidak boleh membangun benteng baru.
  • Raja Buleleng harus membayar ganti rugi dari biaya perang yang telah di keluarkan Belanda.
  • Belanda diizinkan menempatkan pasukannya di Buleleng.
  • Tekanan Belanda itu coba di tandingi dengan tipu daya. Raja dan para pejuang pun merimana isi perjanjian tersebut. Tetapi di balik itu Raja dan patih Ktut Jelantik memperkuat
  • pasukannya dengan cara membangun benteng pertahanan yang kuat bagaikan gelar-supit urang di Jagaraga. Dan rakyat juga tetap mempertahankan Hukum Tawan Karang.

Demikian artikel yang kami berikan semoga beramnfaat bagi anda  semua

Exit mobile version